SISWA VIS A
Khotim Fadhli*)
Kata orang, mahasiswa didefinisikan sebagai pelajar yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Unsur diferensia dari definisi ini terletak pada jenjang pendidikan di perguruan tinggi. Jikapun ada pembeda, yang lain pun hanya pada tugas-tugas pelajaran atau mata kuliah yang lebih banyak dari pada ketika di sekolah dasar atau menengah. Dan satu lagi, yakni kebebasan yang dimiliki olehnya. Kebebasan inilah yang kemudian mendorong lahirnya budaya banalitas di kampus. Budaya banalitas, pengumbar hasrat (terutama banalitas budaya) mengesampingkan penalaran dan pemaknaan yang dalam.
Definisi mahasiswa harus diubah atau didefinisikan kembali (re-definisi). Mahasiswa haruslah didefinisikan sebagai pelajar yang menempuh pendidikan perguruan tinggi dan memiliki kesadaran. Kesadaran di sini sangatlah penting karena ditempatkan sebagai batu pijakan mahasiswa untuk memperlakukan obyek yang telah dipahami selama menempuh pendidikan, terlebih untuk senjata atau alat pergerakan mahasiswa. Dengan demikian, tepatlah pendapat yang mengatakan bahwa mahasiswa dalam menyikapi segala sesuatu tidak dan bukan atas dasar solidaritas sesama mahasiswa, penghormatan pada senior yang kharismatis-feodalistik, dan keterpanggilan emosional tapi minim bingkai rasionalitas.
Orang selalu beranggapan bahwa sosok mahasiswa merupakan golongan pemuda yang mempunyai kemampuan dan kepintaran yang lebih dibanding sosok lain selain mahasiswa walaupun orang juga bingung sebenarnya kemampuan lebih yang dimiliki mahasiswa itu dalam hal apa dan kebanyakan orang menganggap mahasiswa mempunyai kemampuan dan kepintaran dalam hal apapun.
Mahasiswa seakan-akan di-“Raja”-
Mahasiswa bukan lagi seorang siswa yang lebih suka memikirkan dirinya saja dan apalagi hura-hura. Sebutan “maha-siswa” menunjukkan makna bahwa mahasiswa adalah orang yang sudah punya kedewasaan yang lebih dan menjadi sukarelawan untuk berperan penting dalam setiap peran yang memang seharusnya mampu diperankan oleh mahasiswa.
Sebenarnya, mahasiswa adalah golongan intelektualitas yang sudah terseleksi dari sekian banyak orang. Akan tetapi, kenyataannya banyak terjadi penyelewengan peran dan posisi mahasiswa secara jati dirinya. Banyak istilah mahasiswa premature (mahasiswa yang berpola pikir siswa). Padahal harusnya mahasiswa adalah actor intelektual yang berparadigma kritis transformative dalam artian berpola pikir secara cermat dan teliti dalam segala hal dan selalu memikirkan banyak pertimbangan dari beberapa sudut pandang sehingga dalam memutuskan segala hal tidak kaku hanya dipandang sebelah mata dan secara subyektif saja. Sehingga mahasiswa mampu memunculkan ide-ide kreatifnya untuk dapat ditransformasikan (transfer of knowledge and transfer of value) pada banyak orang.
Mahasiswa diberi beban juga oleh masyarakat dengan sebutan Sebagai agent of change, yaitu sekumpulan orang yang mampu untuk melakukan perubahan. Akan tetapi yang menggelitik pemikiran kita adalah perubahan apa yang akan mahasiswa lakukan, bagaimana caranya, dengan siapa, di mana dan kapan perubahan itu akan dilakukan dan sampai kapan limitnya? Kampus ibarat
Memahami peran mahasiswa sangat penting bagi setiap insan yang memutuskan diri untuk menjadi mahasiswa.
Ø Peran Moral yaitu Mahasiswa yang dalam kehidupanya tidak dapat memberikan contoh dan keteladanan yang baik berarti telah meninggalkan amanah dan tanggung jawab sebagai kaum terpelajar. Jika hari ini kegiatan mahasiswa berorientasi pada hedonisme (hura-hura dan kesenangan) maka berarti telah berada pada persimpangan jalan “generasi yang hilang“ yaitu generasi yang terlena dan lupa akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pemuda dan mahasiswa.
Ø Peran Social yaitu Mahasiswa harus menumbuhkan jiwa-jiwa sosial yang dalam atau dengan kata lain solidaritas sosial. Solidaritas yang tidak dibatasi oleh sekat-sekat kelompok, namun solidaritas sosial yang universal secara menyeluruh serta dapat melepaskan keangkuhan dan kesombongan. Peran ini adalah peran mahasiswa yang selalu memperhatikan penderitaan orang lain, memperhatikan penderitaan rakyat, dan tidak dibiarkan begitu saja. Mahasiswa dengan sifat kasih dan sayangnya turun dan memberikan bantuan baik moril maupun materil bagi siapa saja yang memerlukannya.
Ø Peran Akademik yaitu sesibuk apapun mahasiswa, turun ke jalan, turun ke rakyat dengan aksi sosialnya, sebanyak apapun agenda aktivitasnya jangan sampai membuat mahasiswa itu lupa bahwa dirinya adalah insan akademik. Mahasiswa dengan segala aktivitasnya harus tetap menjaga kuliahnya. Setiap orang tua pasti ingin anaknya selesai kuliah dan menjadi orang yang berhasil. Maka sebagai seorang anak berusahalah semaksimal mungkin untuk dapat mewujudkan keinginan itu, untuk mengukir masa depan yang cerah. Peran yang satu ini sangat penting bagi kita, dan inilah yang membedakan kita dengan komunitas yang lain, peran ini menjadi symbol dan miniatur kesuksesan kita dalam menjaga keseimbangan dan memajukan diri kita.
Ø Peran politik yaitu peran yang paling berbahaya karena di sini mahasiswa berfungsi sebagai presseur group (group penekan) bagi pemerintah yang zalim yaitu pemerintah yang seharusnya menjadi pelindung bagi rakyatnya, justru beralih peran menjadi penjarah bagi rakyatnya yang memberikan amanah kepadanya.
Oleh karena itu, jangan hanya bangga dengan sebutan mahasiswa jika kita masih menjadi orang yang biasa-biasa saja yang sama dengan orang selain mahasiswa. Justru ketika kita harus malu ketika kita adalah mahasiswa tapi kita tetap orang biasa-biasa saja tanpa ada beda dengan lainnya. Tunjukkan bahwa kita benar-benar mahasiswa, mampu menjadi Jendral dari semua
*) Khotim Fadhli, salah satu pendiri dan anggota KPK (Komunitas Penulis Kampus) STKIP PGRI Jombang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar