Cari Blog Ini

Sabtu, 19 Juli 2008

Memaknai Demokrasi

MEMAKNAI DEMOKRASI MENYONGSONG PILGUB DAN PILBUB

Oleh: Khotim Fadhli )*


Kampanye calon gubernur dan calon wakil gubernur (cagub dan cawagub) Jawa Timur serta calon bupati dan calon wakil bupati (cabub dan cawabub) Jombang untuk menyongsong pilgub dan pilbub sudah dibuka. Hampir setiap calon mengadakan pesta demokrasi di mana-mana yang sebenarnya sudah menjadi rahasia umum hal tersebut dilakukan untuk mengambil simpati rakyat, terutama yang paling jadi sasaran empuk para calon adalah orang-orang miskin dan pedagang-pedagang di pasar tradisional. Hal tersebut dilakukan oleh calon-calon yang sudah di sahkan oleh KPU agar calon tersebut mendapat perolehan jumlah suara yang banyak, akan tetapi biasanya calon-calon tersebut mengeluarkan uang yang tidak sedikit sebagai alat pengundang massa, misalkan dirupakan kaos, stiker, hiburan-hiburan yang lazimnya menyewa orkes dangdut yang cukup terkenal dan pastinya mahal, dan sebagainya.

Pesta yang diadakan oleh para calon menjadikan para pekerja yang penghasilannya kecil terutama para tukang becak merasa senang dengan pendapatan Rp. 20.000,- dan kaos dengan hanya mengayun becaknya keliling jalan (pawai) untuk mengkampanyekan salah satu calon. Ini sebagai salah satu potret demokrasi dalam hal pemilihan langsung yang sudah beberapa tahun ini kita lakoni.

Akan tetapi pemaknaan demokrasi secara maknawi kurang bisa dicerna oleh rakyat dikarenakan transformasi yang digunakan oleh para politikus terlalu kental akan kepentingan. Mulai dari kepentingan kelompok (partai) sampai dengan kepentingan pribadi yang selalu mengalahkan kepentingan rakyat atau Indonesia secara keseluruhan. Sebenarnya permasalahannya apa ya! Atau sebenarnya orang-orang yang duduk di pemerintahan itu adalah orang yang berlagak mengerti akan tetapi sebenarnya tidak mengerti walupun dapat tertutupi oleh kepintaran/kepandaiannya.

Makna demokrasi sebenarnya adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

Pemerintahan demokrasi yang tulen adalah suatu pemerintahan yang sungguh-sungguh melaksanakan kehendak rakyat yang sebenarnya, akan tetapi kemudian penafsiran atas demokrasi itu berubah menjadi suara terbanyak dari rakyat banyak.

Penafsiran demokrasi sebagai suara terbanyak dari rakyat banyak ini tidak asli lagi, oleh karena tidak melaksanakan kehendak seluruh rakyat. Dalam hal ini demokrasi dapat disalahgunakan oleh golongan yang lebih besar dalam suatu negara untuk memperoleh pengaruh pada pemerintahan negara, dengan selalu mengalahkan kehendak golongan yang kecil jumlah anggotanya.

Saat ini, pencerminan demokrasi di Indonesia bahwa tiap-tiap keputusan bersandarkan atas dasar kelebihan suara. Di sini timbul perjuangan untuk merebut suara terbanyak pada tiap-tiap persoalan di antara golongan. Golongan yang besar memperoleh suara terbanyak sedang golongan kecil menderita kekalahan. Walaupun demikian, perjuangan demokrasi dalam perebutan suara terbanyak itu bukanlah suatu hal antara hidup dan mati, sebab golongan kecilpun tetap berhak untuk duduk dalam pemerintahan.

Perolehan suara yang banyak menjadi cara yang dianggap tepat untuk menyelesaikan permasalahan apapun yang ada, mulai dari kebijakan sampai dengan pemilihan pimpinan. Padahal Indonesia masih mempunyai Pancasila sebagai pedoman yang saat ini seakan-akan ditindih oleh kepentingan sebagaian kecil orang. Kemudian mau dikemanakan pancasila terutama pada sila ke-4 sebagai pegangan untuk menyelesaikan permasalahan yaitu “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” yang mengandung makna untuk setiap penyelesaian hal apapun hendaknya diselesaikan melalui jalur musyawaroh mufakat terlebih dahulu.

Makna sebenarnya demokrasi didalam suatu pemerintahan rakyat adalah bahwa rakyat sangat yakin segala kehendak dan kepentingannya akan diperhatikan oleh wakil-wakil rakyat. Pemerintahan yang tidak termasuk dengan demokrasi adalah cara pemerintahan yang dilakukan oleh dan atas nama seorang diri atau pemerintahan yang dilakukan oleh segolongan kecil manusia saja, yang menganggap dirinya tercakap dan berhak untuk mengambil dan melakukan segala kekuasaan di atas segenap rakyat.

Kenyataannya, amanah-amanah yang diberikan kepada pemerintah/wakil-wakil rakyat ternyata banyak yang dimanipulasi. Mereka tidak pernah melepaskan bendera luar (partai) walaupun mereka sudah duduk di pemerintahan yang seharusnya orang-orang yang sudah duduk di pemerintahan harusnya bersikap independent demi kepentingan yang universal yaitu kepentingan rakyat indonesia secara keseluruhan, tidak hanya segolongan kecil rakyat Indonesia ataupun pribadi.

Mahasiswa sebagai golongan yang disebut orang “actor intelektual” dalam proses demokrasi tidak hanya berbicara soal “kemenangan calon”, tetapi jauh lebih dari itu adalah “kemenangan rakyat”. Pengetahuan yang mereka miliki tidak boleh terperangkap hanya menjadi instrumen pemenangan calon, tetapi musti menjelma menjadi instrumen pembangunan yang menguntungkan rakyat, siapapun yang memenangkan pilgub maupun pilbub.

Bagi setiap mahasiswa, ungkapan “jiwaku mati tanpa independensi” harus dipegang erat sebab secara tidak langsung, mahasiswa mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai agen pengontrol bagi pelaksanaan demokrasi yang ada. Bagaimana pemaknaan kita tentang demokrasi?



)* Khotim Fadhli adalah mahasiswa Pendidikan Ekonomi STKIP PGRI Jombang yang masih belajar dan berusaha untuk mampu menulis dengan baik sebagai transformasi nilai, informasi dan pengetahuan.

1 komentar:

celaledin wahyu mengatakan...

demokrasi telah terlaksana sahabat, wujudnya sudah mulai dipraktekkan. yang perlu dilakukan sekarang adalah mengawalnya. tentu saja degan kritikan dan masukan yang membangun.