Blue Print Peran Mahasiswa Membangun Indonesia
Oleh : Liza Wahyuninto*)
Non scholae sed vitae discimus
(Kita Belajar bukan untuk sekolah, tetapi untuk hidup)
(Soetomo)
Fadjroel Rahman dengan bangga mengatakan bahwa puncak revolusi Mei 1998 adalah penggulingan Jenderal Besar (purn) Soeharto, yang didalangi oleh gerakan mahasiswa. Sah kiranya berpendapat demikian, karena pada saat itu mahasiswa benar-benar menunjukkan jati dirinya sebagai mahasiswa yang menjadi wakil dari masyarakat umum untuk meneiakkan suaranya yang telah lama dipaksa bisu oleh rezim otoriter.
Namun, kebanggan tersebut tidak berlangsung lama. Tidak ada penerus yang benar-benar dapat mewarisi perjuangan mahasiswa sebelumnya. Padahal, gerakan mahasiswa sebelumnya hanya membuka pintunya saja, belum melangkah masuk ke dalam istananya. Masih banyak PR yang harus dikerjakan, belum waktunya untuk berpangku tangan.
Kebanggan pun kemudian beralih pada kesedihan hingga berujung pada kemarahan terhadap perilaku mahasiswa. Bagaimana tidak, kemajuan zaman dengan segala hal yang dipertontonkan oleh globalisasi telah mengalihkan perhatian mahasiswa dari membendung arus globalisasi pada menikmatinya. Jarang ditemukan kembali mahasiswa dengan karakter idealisnya untuk kemudian ikut mewarnai pembangunan Indonesia.
Jauh sebelum keterpurukan idealisme mahasiswa ini, ketakutan akan pemuda Indonesia (terutama mahasiswa) akan menjadi paria di dunia telah digaungkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana (STA). STA memiliki ketakutan demikian karena berkeyakinan teguh bahwa untuk merusak bangsa cukup dengan merusak pemuda dan budayanya. Dan di Indonesia, degradasi kedua hal tersebut telah menggejala.
Mengintip Perilaku Mahasiswa Indonesia di Era Modern
Seorang mahasiswa adalah manusia pembelajar, kehidupannya pun harus tidak boleh lepas dari sikapnya menjadi sebagai seorang akademis dan organisatoris. Timpang kiranya jika hanya satu saja yang ditekuni. Kampus yang dalam hal ini fakultas, jurusan, kelas dan lebih sempitnya dosen tugasnya hanya mengenalkan saja tanpa menjelaskan secara detail mengenai materi yang disuguhkan. Selebihnya, seorang mahasiswa harus mencarinya sendiri di luar kelas, dan itu dapat ditemukan di organisasi, frum belajar, perpustakaan dan internet. Jika dinominalkan, maka dosen hanya memberikan 25% saja terhadap materi dan 75% ada di luar kelas dan mahasiswalah yang harus aktif untuk menebusnya.
Tapi, ungkapan di atas hanyalah teori belaka. Mahasiswa saat ini tidak lagi menganut paham oragnisatoris akademis, tapi telah terpecah menjadi mahasiswa organisatoris, mahasiswa akademis, dan mahasiswa romantis. Jarang sekali ditemukan mahasiswa yang mampu menyeimbangkan di anatara ketiganya.
Mengintip gerakan mahasiswa modern harus jujur mengakui bahwa ada sesuatu yang sedang tidak beres dalam perilaku mahasiswa Indonesia. Budaya hedon bukan sesuatu yang ganjil atau salah untuk disebutkan bahwa inilah titik puncak degradasi nilai mahasiswa. Budaya hedon kemudian mengalahkan tujuan awal seseorang menjadi mahasiswa. Forum kajian, seminar lokal, regional, nasional hingga internasionalpun sudah tidak lagi menarik untuk dilirik.
Budaya hedon akhirnya bermuara pada sikap individual mahasiswa. Rasa sosial sudah tidak menarik lagi untuk diperhitungkan. Kecenderungannya kemudian mengarah pada mahasiswa kupu-kupu (baca : kuliah pulang- kuliah pulang).
Begitu pula ketika mengintip pergerakan mahasiswa, terkesan setengah hati. Organisasi kemudian menjadi pelarian menghindari kejenuhan dalam perkuliahan, padahal fungsi pokok dari organisasi adalah mendukung penuh atau sebagai wadah penyalur dan pengembang hal-hal yang bersifat akademis. Hingga tidak jarang kita temui trend mahasiswa abadi di setiap perguruan tinggi.
Lalu bagaimana?
Dus, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana memaknai diri sebagai mahasiswa seutuhnya? Menjadi mahasiswa adalah tangga menjadi masyarakat. Sehingga memaknai jati diri mahasiswa adalah mengisi setiap kekosongan yang ada dengan segala seuatu yang dapat dipersiapkan ketika terjun ke kehidupan sebenarnya (yang masyarakat butuhkan).
Apa yang telah dilakukan oleh gerakan mahasiswa sebelumnya adalah tugas turun-temurun yang harus kita warisi. Terbukti bahwa angkatan mahasiswa sebelumnya dengan segala penggemblengan diri terhadapnya telah mampu memimpin bangsa ini. Diharapkan mahasiswa saat ini dengan segala problem yang dihadapinya, siap atau tidak siap, harus menghadapui kenyataannya untuk membangun negeri ini. Dan bila hal tersebut tidak dipersiapkan lebih dini, mimpi buruk Sutan Takdir Alisjahbana tentang manusia Indonesia menjadi paria di dunia tinggal menunggu saja.
*) Liza Wahyuninto. Pemimpin Redaksi Jurnal LoroNG pada Institute of Studies, Researchers and Development for Student (ISRDS) Universitas Islam Negeri (UIN) Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar