Cari Blog Ini

Kamis, 05 Februari 2009

DIVERSIFIKASI PERTANIAN DAN PERKEBUNAN SEBAGAI ALTERNATIF PEMBERDAYAAN PETANI JOMBANG

DIVERSIFIKASI PERTANIAN DAN PERKEBUNAN SEBAGAI ALTERNATIF PEMBERDAYAAN PETANI JOMBANG

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sebagai negara agraris, masyarakat Indonesia banyak yang bermata-pencaharian sebagai petani. Namun seiring berjalanya waktu banyak petani yang mulai kehilangan lahan sawah, disebabkan pengalihfungsian lahan untuk pemukiman penduduk dan perindustrian. Singkatnya, lahan-lahan pertanian yang mulai menyempit yang menimbulkan berbagai masalah bawaan, antara lain jumlah produksi yang semakin kecil, sementara di sisi lain jumlah penduduk Indonesia semakin banyak, mencapai hampir 225 juta orang.

Belum lagi permasalahan gagal panen, melambungnya harga pupuk, anjloknya harga gabah, serta permasalahan struktural yang membutuhkan penanganan secara intens. Permasalahan ini tentunya tidak bisa dibiarkan begitu saja, melainkan harus dicarikan solusinya. Pemerintah dalam menanggapi hal ini memang tidak tinggal diam, diantara solusi yang diambil adalah kebijakan impor beras, gula, gandum dan lain-lain. Akan tetapi kebijakan tersebut adalah kebijakan yang bersifat reaksioner, bukan kebijakan jangka panjang yang mampu menyelasaikan masalah secara holistik.

Permasalahan dalam dunia pertanian yang terjadi secara umum di Indonesia, juga terjadi di Kabupaten Jombang Jawa Timur. Sebab sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis (Renstra) Kabupaten Jombang tahun 2003, kota yang terkenal dengan sebutan kota santri ini ditetapkan sebagai kota yang mempunyai karakter agraris dan agamis.

Kondisi wilayah-wilayah yang ada di Jombang kebanyakan masih berupa lahan persawahan (daerah agraria), maka dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup, masyarakat Jombang bergantung pada sektor pertanian. Secara geografis kondisi tanah di Jombang dipengaruhi oleh beberapa faktor penting yang sangat mempengaruhi tingkat kesuburan tanah, diantaranya adalah aliran sungai yang cukup besar dan material hasil letusan gunung berapi. Hasil letusan Gunung Kelud tersebut terbawa arus deras sungai Brantas, sungai Konto dan sungai-sungai lainnya yang jumlahnya mencapai 39 buah. Sarana pengairan pun tergolong memadai. Dari total pengairan yang ada 83,3 persennya adalah irigasi teknis.

Bagi sebagian besar masyarakat Jombang, padi masih tetap jadi unggulan. Hingga tahun 2002, komoditas ini digeluti oleh sedikitnya 154.900 orang atau 31 persen dari penduduk usia kerja. Tradisi, kemudahan yang disediakan oleh alam, dan adanya terobosan baru rupanya menjadi alasan untuk bertahan. Tak kurang dari 42,2 persen lahan di Jombang dipergunakan untuk areal persawahan. Letaknya di bagian tengah kabupaten dengan ketinggian 25-100 meter di atas permukaan laut. Lokasi itu ditanami padi serta palawija seperti jagung, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau.

Sebagian lahan di Jombang merupakan perbukitan. Di bagian selatan merupakan sentra buah-buahan seperti mangga, pisang, jambu biji, sawo, pepaya, nangka, dan sirsak. Sebaliknya di sebelah utara banyak ditanami tebu dan tembakau.

Dalam lima tahun terakhir, produktifitas padi daerah Jombang telah mencapai rata-rata 5,7 ton per hektar, lebih tinggi dibandingkan dengan angka rata-rata Provinsi Jawa Timur sebesar 5,1 ton per hektar. Hasil panen terbanyak terjadi di tahun 2000, yaitu mencapai 368.000 ton seiring dengan bertambahnya luas panen menjadi 64.200 hektar. Sayangnya, akibat pengaruh cuaca, dua tahun kemudian produksi padi turun menjadi 350.300 ton

Secara fisik, Jombang memang dilimpahi kesuburan sehingga produksi padinya tergolong cukup. Tetapi, di balik kemudahan itu biaya produksi pun ikut melambung tinggi. Harga gabah yang selama ini paling bagus Rp. 1.300, per kilogram dirasa tidak lagi menguntungkan dan tidak menutup biaya produksi.

Untuk mengatasi permasalahan dalam bidang pertanian dan perkebunan di Kabupaten Jombang, secara berkesinambungan dan massif harus dilakukan pemberdayaan yang optimal atas potensi-potensi yang ada. Baik potensi fisik (lahan persawahan dan perkebunan), maupun potensi sumber daya manusianya. Dalam tulisan kali ini, penulis akan menawarkan pemberdayaan potensi tersebut dengan melalui deversifikasi pertanian dan perkebunan.

1.2. Rumusan Masalah

Memperhatikan kondisi di Jombang mayoritas adalah petani kecil, maka perlu dicari solusi atau alternatif yang bisa ditransformasikan pada masyarakat Jombang, yaitu:

Bagaimana penerapan konsep difersivikasi dalam pertanian dan perkebunan di Jombang?

1.3. Tujuan dan Manfaat

Tujuan pembuatan karya tulis ini adalah:

1. Menekan pemerintah dan masyarakat untuk mendongkrak perekonomian Indonesia melalui pemberdayaan keunggulan pertanian dan perkebunan lokal.

2. Menemukan alternatif bagi petani untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi.

Adapun manfaat penulisan karya tulis ini adalah:

1. Secara Khusus

Sebagai sarana untuk pengembangan kemampuan apresiasi terhadap masalah sosial dalam kaitanya pengembangan soft skill bagi masyarakat Jombang.

2. Secara Umum

Sebagai masukan dan solusi dalam menghadapi masalah pertanian yang menjadi penyangga utama perekonomian keluarga petani, guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi khususnya petani kecil, dan menjadi salah satu pertimbangan pemerintah untuk lebih memberdayakan keluarga petani di Jombang.

1.4. Batasan Masalah

Dalam membicarakan masalah pertanian di Kabupaten Jombang, pembahasan mempunyai batasan-batasan sebagai berikut:

1. Hanya mengulas potensi pertanian dan perkebunan, berupa potensi fisik dan potensi sumberdaya manusia.

2. Obyek pembahasan adalah wilayah Kabupaten Jombang.

BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1. Penjelasan Teknis dalam Pertanian

1. Lahan sawah adalah lahan usaha tani yang secara fisik permukaan tanahnya datar dan dibatasi dengan pematang yang memperoleh air dan saluran irigasi atau air tadah hujan dan dapat ditanami padi dengan sistem basah sekurangkurangnya sekali dalam setahun.

2. Lahan perkebunan adalah lahan kering yang dimanfaatkan untuk tanaman pangan dan atau perkebunan

3. Sumberdaya manusia adalah potensi yang dimiliki oleh manusia baik yang sudah diberdayakan atau yang masih belum diberdayakan.

2.2. Pengertian Difersivikasi

Difersivikasi adalah perluasan dari suatu produk yang diusahakan selama ini ke produk atau industri baru yang sebelumnya tidak diusahakan. Ini dilakuakan untuk meminimkan resiko, untuk menghindari akibat buruk dari fluktuasi ekonomi.

Dalam pertanian dan perkebunan difersivikasi dikatakan sebagai pergeseran sumberdaya dari satu tanaman menjadi campur tanaman, untuk mengurangi kegagalan resiko alam dan meningkatkan hasil dari tiap komoditas yang akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani. Definisi tersebut menekankan pentingnya perubahan sumberdaya bernilai rendah, yang sering direfleksikan sebagai peningkatan tingkat spesialisasi ke dalam aktifitas yang bernilai tinggi.

Kasryno (2004), dilihat dari segi ekonomi, difersivikasi bertujuan memperkecil resiko yang disebabkan oleh dinamika harga dan faktor ekonomi lainnya serta perubahan iklim. Difersivikasi berpeluang meningkatkan pemanfaatan sumberdaya manusia, peningkatan sumberdaya manusia, peningkatan kesempatan kerja dan kesempatan perusahaan serta pemanfaatan sumberdaya alam. Dari segi budidaya, difersivikasi memperkecil pengaruh iklim.

Menurut Hayami dan Otsuka (1992), Berdasarkan definisi di atas, maka dapat diperoleh kesimpulan: (a) Pergeseran sumberdaya dari kenyataan usaha tani ke non usaha tani, (b) Penggunaan sumberdaya dalam skala besar berupa campuran tani berbagai komoditas dan kegiatan yang menunjangnya, (c) Perubahan sumberdaya dari komoditas pertanian bernilai rendah ke komoditasa pertanian bernilai tinggi.

Alasan masyarakat perlu melakukan difersivikasi karena :

a. Memaksimalkan efisiensi penggunaan sumberdaya, terutama efisiensi penggunaan lahan dan waktu, simbiosis dalam usaha dan intensifikasi penggunaan tenaga kerja.

b. Mengurangi resiko produksi, harga dan pendapatan.

c. Merespon perubahan permintaan.

d. Mempertahankan kesuburan lahan.

2.3. Konsep Pemberdayaan

Untuk memahami konsep pemberdayaan secara tepat memerlukan upaya pemahaman latar belakang kontekstual yang melahirkannya, karena konsep pemberdayaan telah meluas, diterima dan dipergunakan dalam pengertian dan persepsi yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang dan tujuannya.

Kata “pemberdayaan” merupakan sebuah istilah yang diadopsi dari kata “empowerment”, yaitu sebuah kata jadian yang berasal dari kata dasar “power” yang berarti daya, kekuatan, kemampuan, dan kekuasaan.

Hubungan antara kedua kata tersebut (power dan empowerment) tidak sekadar hubungan kata dasar dan kata jadian, melainkan laksana aksi dan reaksi atau sebab dan akibat. Artinya, bahwa munculnya konsep empowerment, pada hakikatnya dapat dipandang sebagai reaksi dari proses deporwement, sehingga terjadi ketimpangan. Oleh sebab itu konsep pemberdayaan tidak dapat dipisahkan dengan dua konsep sentralnya, yakni konsep power dan konsep disadvantaged (ketimpangan). .

Ada beberapa kekuatan atau daya (power) yang merupakan kebutuhan dasar setiap orang, keluarga ataupun komunitas, yang antara lain adalah:

1) Kekuatan (power) untuk menentukan pilihan pribadi dan kesempatan untuk hidup yang lebih baik.

2) Kekuatan (power) untuk menentukan kebutuhan.

3) Kekuatan (power) untuk mengeluarkan gagasan dalam suatu lembaga atau komunitas.

4) Kekuatan (power) untuk memanfaatkan institusi yang ada, seperti sistem pendidikan, sistem demokrasi, sistem dan struktur pemerintahan, sistem kesejahteraan sosial dan sebagainya.

5) Kekuatan (power) untuk menjangkau dan memanfaatkan sumberdaya (resource), seperti teknologi dan ilmu pengetahuan, pendidikan, rekreasi, budaya, finansial dan bahkan sumber daya alam.

6) Kekuatan (power) untuk melakukan kegiatan ekonomi (menjangkau mekanisme produksi, distribusi, dan pertukaran barang atau jasa), terutama dalam masyarakat kapitalis moderen yang cenderung ada mekanisme ketidak-seimbangan (ketidakadilan).

7) Kekuatan (power) untuk reproduksi, pengasuhan (membesarkan anak) pendidikan dan sosialisasi

Beberapa kekuatan (power) tersebut bila tidak atau sedikit dimiliki oleh orang, keluarga atupun komunitas, berarti mereka tak berdaya (powerless). Hal ini disebabkan oleh karena tidak adanya sumber-sumber daya yang mendukung keberdayaannya, dan karena adanya faktor ketimpangan.

Adapun sumber-sumber daya atau kekuatan yang mendukung antara lain meliputi:

1) Kewenangan formal

2) Kekuatan untuk dapat memberikan sanksi

3) Penguasaan informasi yang sangat penting

4) Pengetahuan tertentu yang sangat penting

5) Penguasaan ketrampilan tertentu yang sangat dibutuhkan

6) Kebersamaan atau kolektivitas (asosiasi) yang solid

7) Kemampuan untuk boikot (membuat gangguan)

8) Moralitas yang tinggi

9) Kharisma (wibawa)

10) Memiliki, menguasai dan mengendalikan sumber daya ekonomi

11) Persistensi (penguasaan sumber daya atau kekuatan yang cukup lama).

Sedangkan ketidakberdayaan yang disebabkan oleh faktor ketimpangan (disadvantaged), antara lain:

1) Ketimpangan struktural antar kelompok primer, seperti: perbedaan kelas; (kaya–miskis, buruh–majikan, ketidaksetaraan gender); perbedaan etnis (masyarakat lokal–pendatang, kaum minoritas–mayoritas).

2) Ketimpangan kelompok lain, seperti: masalah perbedaan usia (tua-muda), ketidakmampuan fisik, mental, dan intelektual, masalah ketertinggalan dan keterbelakangan.

3) Ketimpangan personal, seperti: masalah duka cita, kehilangan orang-orang yang dicintai, persoalan pribadi dan keluarga

Tetapi Chambers dan Kartasasmita melihatnya dari segi proses pembangunan ekonomi, yaitu:

Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni bersifat people-centered, participatory, empowering, dan sustainable. (Chanbers)

pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Jadi kata kuncinya adalah “memampukan dan memandirikan” masyarakat. (Kartasasmita)

Dengan demikian jelas bahwa konsep pemberdayaan itu lebih luas dari hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan dasar atau mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut. Oleh karena itu pemberdayaan (empowerment) haruslah dimaknai sebagai suatu upaya untuk membangun daya (kemampuan), dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya.

2.4. Kemiskinan dan Ketidakberdayaan Petani

Kemiskinan dan ketidakberdayaan Petani merupakan permasalahan yang kompleks, karena tidak hanya menyangkut variabel ekonomi saja, tetapi mencakup pula variabel non ekonomi, seperti politik, sosial, budaya dan agama. Namun dalam segi pengukuran, variabel ekonomilah yang lebih operasional (bisa diukur), oleh sebab itulah kemiskinan identik dengan ketiadaan sumberdaya (ketidakberdayaan). Sebagian besar para ahli ekonomi dan ilmu sosial melihat soal kemiskinan dari dua pendekatan sosial ekonomi, yaitu:

Pertama, pendekatan humanitarian yang berlandaskan pada sejumlah barang dan jasa untuk mencukupi kehidupan individu, keluarga, ataupun kelompok. Atau lebih khusus lagi dinyatakan bahwa sejumlah barang dan jasa itu dapat mencukupi kebutuhan kalori minimum, dan lazimnya ditambah lagi dengan kebutuhan non pangan.

Kedua, pendekatan egalitarian, yang berlandaskan pada struktur distribusi pendapatan kelompok bawah, yang menurut ukuran Bank Dunia, kelompok yang termasuk miskin adalah kelompok 40% terbawah (Hasibuan, 1997).

Pendekatan pertama bahwa kemiskinan itu identik dengan kebutuhan ekonomi belaka, sedangkan pendekatan kedua ada pematokan secara statistik dengan ukuran persentase tertentu, yang berarti setiap negara akan selalu ada 40 persen penduduk yang miskin, walaupun pendapatannya telah meningkat.

Namun terlepas dari perbedaan batas kemiskinan tersebut di atas, yang pasti bahwa kemiskinan identik dengan ketidakberdayaan, karena sama-sama terbatas dalam kepemilikan sumber-sumber daya (sources of power), di samping sebagai korban adanya ketimpangan (disadvantaged), sehingga menjadikan mereka tidak memiliki daya atau kekuatan (powerless) dalam masyarakat. Hal ini menjadi semacam ‘dalil’ umum, yang berlaku pula pada keluarga petani di Jombang.

Menurut Rahardjo & Rinakit ada empat faktor utama yang menjadikan ketidakberdayaan petani, yaitu: (1) keterbatasan tanah garapan, (2) produksi, (3) latar belakang pendidikan, dan (4) intervensi institusi.

(1) Pengusahaan Tanah/Lahan

Penggunaan tanah di perdesaan yang paling luas adalah sektor pertanian (tanaman pangan, tanaman keras, kehutanan, ladang pengembalaan dan perikanan), tetapi karena pertumbuhan jumlah penduduk dan perkembangan ekonomi, pemanfaatan sumberdaya tanah seringkali dilakukan secara tidak bijaksana dan hanya didasarkan pada pertimbangan jangka pendek, akibatnya terjadi penurunan kualitas sumberdaya tanah. Selain itu, pemanfaatan sumber daya tanah untuk berbagai kepentingan, seperti perumahan, perkantoran dan lain-lain juga berakibat semakin sempitnya lahan untuk sawah (pertanian), terutama di Jombang. Seperti yang tertera pada tabel berikut ini:

Tabel: Luas Tanah Menurut Penggunaannya

Kecamatan

Jenis Penggunaan Tanah (Ha2)

Pemukiman/ Perumahan

Sawah

Tegalan

Bandar Kedung Mulyo

1.121,58

0,66

1.072,40

Perak

667,61

2,98

172,00

Gudo

1.165,31

0,76

413,90

Diwek

2.443,62

2,96

0,00

Ngoro

1.185,48

2.943,72

507,80

Mojowarno

1.268,87

2.153,46

1.981,80

Bareng

1.689,78

5.540,81

1.856,79

Wonosalam

1.679,20

1.151,81

4.090,20

Mojoagung

1.118,61

2.551,92

0,00

Sumobito

1.166,04

3.514,39

79,00

Jogoroto

1.046,28

1.613,72

0,00

Peterongan

948,23

1.939,24

0,00

Jombang

2.047,88

5,04

113,29

Megaluh

2.122,31

2.186,64

0,00

Tembelang

1.278,28

2,91

13,50

Kesamben

3.134,26

4.041,24

318,60

Kudu

678,31

1.419,24

221,95

Ngusikan

641,15

1.356,41

241,95

Ploso

649,26

1.538,76

9,33

Kabuh

909,07

2.725,09

317,40

Plandaan

1.717,99

3.374,84

1.954,20

Jumlah

28.679,1150

38.066,5994

13.364,1090

2004

27.921,5661

48.916,2188

13.474,2150

Sumber: BPN Kabupaten Jombang, BPS Kabupaten Jombang 2005/2006

Perubahan tata guna lahan dari pertanian ke perumahan, perkantoran, dan lain-lain merupakan kosekuensi logis dari peningkatan jumlah penduduk dan dinamika pembangunan ekonomi. Tetapi persoalan menjadi serius karena perubahan peruntukan lahan tersebut telah memanfaatkan lahan subur (potensial) untuk persawahan. Sebagai akibatnya, dengan perubahan peruntukan lahan sawah menjadi peruntukan lain, salah satu faktor produksi potensial untuk penyediaan bahan makanan terutama padi menjadi sangat terbatas.

Penyempitan lahan pertanian yang dikuasai oleh rumah tangga petani juga disebabkan adanya budaya waris. Persoalan pembagian warisan lahan pertanian menjadi pelik terutama bagi rumah tangga yang mempunyai jumlah anak banyak.

(2) Produksi dan Pendapatan Petani

Sempitnya lahan yang dimiliki petani berpengaruh langsung terhadap tingkat produksi dan pendapatan rumah tangga petani. Rahardjo & Rinakit mengatakan:

… para petani berlahan sempit (<0,5 ha) dan buruh tani merupakan kelompok yang hidupnya paling menderita. Karena lahan yang sempit dan bahkan tidak mempunyai lahan itu berarti mereka hanya mampu memproduksi sedikit hasil pertanian pangan (padi) sehingga pendapatan mereka pun sangat kecil. Demikian juga dalam hal menaikkan produksi padi pada lahan yang sudah sempit, bagaimanapun hukum kenaikan produksi yang kurang sebanding terhadap skala pada tingkat tertentu akan berlaku, sehingga ada batas yang sangat jelas berapa hasil yang paling efisien atas sebidang tanah apabila dilakukan intensifikasi.

Penghasilan keluarga petani khususnya petani kecil tidak jelas. Apalagi ketika menunggu panen, sementara pengeluaran keluarga petani tersebut terus berjalan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Untuk menghasilkan padi, selain tenaga kerja sendiri (plus keluarga yang biasanya tidak diperhitungkan), petani juga harus mengeluarkan biaya produksi, bahkan bisa relatif lebih tinggi bila disertai dengan perang melawan hama.

(3) Tingkat Pendidikan Petani

Ketidakberdayaan petani terutama petani kecil (berlahan <0,5 ha) juga disebabkan oleh tingkat pendidikan petani yang sebagian besar masih rendah. Dari sejumlah rumah tangga pengguna lahan sempit (<0,5 ha) hampir seluruhnya (90,07%) berpendidikan rendah, paling tinggi lulusan Sekolah Dasar, dan sebanyak 54,4% berada dalam umur produktif, yaitu antara 15 – 45 tahun.

(4) Intervensi Pihak Luar

Tujuan akhir dari kebijakan swasembada beras, selain untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Karenanya, kebijakan-kebijakan pemerintah yang berhubungan dengan kedua tujuan tersebut sampai sekarang selalu diikuti dengan intervensi birokrasi. Sehingga tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani nyaris hanya sekedar bahasa politik.

Sejauh ini kebijakan-kebijakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani baik melalui Kredit Usaha Tani (KUT) maupun kenaikan secara periodik harga dasar gabah kering, ternyata tidak diikuti oleh peningkatan kesejahteraan petani. Aspek “kemandekan” dan intervensi birokrasi yang bersentuhan langsung dengan petani menjadi salah satu sebab utama melembaganya ketidakberdayaan petani. Pada kasus kenaikan secara periodik harga gabah kering misalnya, ternyata juga selalu diikuti oleh kenaikan harga sarana produksi padi (SAPRODI) sehingga daya beli petani tidak pernah meningkat. Sementara itu dalam hal penentuan harga produksi, petani sama sekali tidak mempunyai daya. Mereka sangat bergantung kepada kebijakan harga yang berlaku pada waktu itu. Dengan demikian sistem pengaturan harga yang pada awalnya bertujuan untuk stabilisator harga domestik, pada akhirnya justru hanya menguntungkan pihak lain.


BAB III

METODE PENULISAN

3.1. Pengumpulan Data

Metode yang kami gunakan dalam pengumpulan data untuk karya tulis ini adalah:

1. Studi Pustaka (Library Research)

Yaitu suatu kegiatan mempelajari buku-buku literatur dan sumber lain yang ada hubungannya dengan penulisan ini.

2. Studi Lapangan (Field Research)

Yaitu kegiatan mencari data yang dilakukan langsung terjun ke lapangan (sebagian keluarga petani yang ada di Jombang).

Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik sebagai berikut:

1. Pengamatan (Observasi)

Yaitu dengan cara pengambilan atau pengumpulan data dengan jalan menganalisa langsung pada obyek yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan dijadikan bahan penulisan. Dalam hal ini pengamatan langsung terhadap kondisi perekonomian keluarga petani.

2. Wawancara (Interview)

Yaitu dengan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengadakan komunikasi langsung (wawancara) dengan orang-orang yang mempunyai hubungan dengan obyek yang akan ditulis untuk memperoleh keterangan yang diperlukan dalam penulisan ini.

3. Dokumentasi

Yaitu dengan teknik atau cara pengumpulan data dalam penelitian yang dilakukan dengan mencari bukti-bukti yang nyata yakni berupa data yang bersumber dari buku.

3.2. Analisis Data

Dalam suatu metode ilmiah analisis data merupakan bagian yang sangat penting. Hal ini disebabkan akan memberikan arti dan makna yang berguna dalam penulisan akhir dalam suatu pembahasan. Jadi setelah memperoleh data, maka dilakukan analisis terhadap data tersebut untuk memperoleh kesimpulan.

BAB IV

ANALISIS DAN SINTESIS

4.1. Analisis

Petani yang ada di Jombang mayoritas adalah petani kecil yaitu petani yang memiliki lahan kurang dari 5 hektar (<5 ha). Selain itu banyak juga yang hanya menjadi buruh tani yang pendapatannya juga lebih sedikit dari petani kecil. Rata-rata di Jombang Pendapatan petani merupakan satu-satunya pendapatan yang akan diperoleh petani dan keluarganya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Jadi, usaha pertanian merupakan usaha tunggal yang dijalani oleh sebagian besar keluarga petani di Jombang.

Daya beli keluarga petani kecil sangatlah rendah, karena pendapatan yang diperoleh petani dari hasil pertanian sangatlah sedikit dan kurang cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hidup keluarganya. Jadi, sebenarnya keluarga petani harus mempunyai pemikiran dan aktivitas lain yang bisa mendongkrak atau menaikkan daya beli keluarga petani menjadi lebih tinggi, sehingga keluarga petani mempunyai pemasukan yang lebih tinggi dari pada pengeluaran yang mereka butuhkan dalam memenuhi kebutuhannya.

Keluarga petani kecil yang ada di Jombang merupakan salah satu keluarga yang kurang sejahtera. Hal ini disebabkan harga jual padi (gabah) adalah Rp. 1.600/kg, sampai dengan Rp. 1.800/kg. Ini jauh dari Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan sebesar Rp 2.000. Harga tersebut cukup memberatkan keluarga petani sebab biaya produksi ternyata lebih besar dari pada pendapatan atau harga jual.

Pendapatan utama petani kecil selama menunggu panen padi dengan tenggang sekitar 4 bulan adalah menjadi buruh tani di lahan-lahan pertanian milik petani lain. Biasanya jam kerja mulai jam 06.00 WIB sampai dengan jam 10.00 WIB atau sampai dengan jam 12.00 WIB. Perolehan atau upah yang diperoleh oleh petani tersebut pada umumnya adalah:

Laki-laki

Jam 06.00 – 10.00

Jam 06.00 – 12.00

Rp. 12.000, + rokok

Rp. 15.000, + rokok

Perempuan

Jam 06.00 – 10.00

Jam 06.00 – 12.00

Rp. 7.000,

Rp. 10.000,

Upah yang diperoleh antara petani laki-laki dan perempuan berbeda. Karena pertimbangan tenaga yang dimiliki oleh petani laki-laki dan perempuan berbeda yaitu lebih besar petani laki-laki. Upah yang diperoleh petani tersebut sangatlah kecil sehingga tidak mampu menutup biaya kehidupan petani dan kelurganya.

Suatu indeks yang membandingkan antara indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani yaitu yang disebut Indeks Nilai Tukar Petani menunjukkan bahwa bahwa dengan mendasarkan pada tahun dasar 2000, tahun 2006 menanam padi bagi petani di Jawa sama sekali tidak menguntungkan. Keadaan ini juga terjadi pada petani lainnya secara umum, di mana kehidupan petani di Jawa tidak dapat semata-mata ditopang dengan kegiatan pertanian. (sensus pertanian 2005/2006).

Oleh karena itu, keluarga petani yang ada di Jombang harusnya menggali potensi sumber daya manusia yang mereka miliki kemudian dapat disesuaikan dengan sumber daya alam yang ada di Jombang dan sekitarnya.

Fagi dan Partohardjono (2004) mengatakan ada lima strategi untuk meningkatkan pendapatan, yaitu: (1) Intensifikasi pola produksi, (2) Penganekaragaman produksi dan pengolahan hasil, (3) Perluasan tanaman atau lahan yang akan ditanami, (4) Peningkatan pendapatan dari luar pertanian, baik yang berbasis pertanian ataupun non pertanian, (5) Usaha luar sektor pertanian apabila potensi sumberdaya tidak prospektif

Lahan-lahan milik petani di Jombang banyak yang masih kosong dan sebagian ditanami pohon pisang, singkong, jarak dan sebagainya. Akan tetapi selama ini hasil tanaman tersebut hanya dijadikan sebagai tanaman tambahan saja dan hasilnya hanya dijual mentah, karena kurang mengertinya masyarakat tentang bagaimana cara mengolah atau meningkatkan nilai jual hasil alam tersebut.

Ada sebagian kecil masyarakat atau keluarga petani yang sudah mulai melakukan diversifikasi pertanian dan perkebunan, misalnya dengan memproduksi atau mengolah hasil tanaman yang banyak ditemui di Jombang yaitu pisang, singkong, pohon jarak dan sebagainya. Sebenarnya tidak telalu sulit untuk mengolah bahan mentah hasil alam menjadi bahan jadi (layak jual), asal ada kemauan dan kemampuan (skill) yang dimiliki oleh setiap orang.

Usaha untuk meningkatkan daya beli petani melalui diversifikasi (usaha pengembangan) sangat baik untuk diterapkan, khususnya dapat dijalankan oleh ibu-ibu rumah tangga. Jadi pendapatan keluarga tidak hanya ditopang dari hasil pertanian saja tapi juga berasal dari usaha lain yang dapat mendongkrak perekonomian keluarga petani. Akan tetapi masih sangat sedikit keluarga petani yang melakukan diversifikasi pertanian dan perkebunan dengan usaha mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi (siap jual) karena banyak masyarakat yang kurang mengerti bagaimana cara mengolah atau memproduksi bahan tersebut sehingga nilai jual barang tersebut menjadi lebih tinggi.

Keluarga petani kecil di Jombang kurang mengerti bagaimana cara mengolah hasil sumber daya alam lokal yang sebenarnya cukup potensial untuk dikembangkan karena kurang adanya perhatian lebih dari pemerintah. Pemerintah harusnya memberdayakan keluarga petani, khususnya petani kecil untuk lebih mengembangkan kemampuan di bidang lain yang sebenarnya lebih berpotensi untuk meningkatkan daya beli keluarga petani.

4.2. Sintesis

Kebutuhan hidup masyarakat, khususnya keluarga petani kecil pasti akan mengalami peningkatan karena harga barang-barang kebutuhan pokok semakin mahal. Oleh karena itu, pertumbuhan penduduk suatu wilayah (kabupaten/kota) perlu diproyeksikan (contoh : 5 tahun) ke depan sehingga dapat diproyeksikan pula jumlah kebutuhan (5 tahun) ke depan dalam hal peningkatan perekonomian yang ada di wilayah tersebut.

Daya beli keluarga petani kecil di Jombang akan semakin tinggi jika keluarga petani melakukan diversifikasi pertanian dan perkebunan atau pengembangan usaha dalam bidang pertanian ataupun perkebunan. Jadi pendapatan keluarga petani dapat terdongkrak (mendapat tambahan) dari hasil lain selain pertanian tanpa meninggalkan usahanya di bidang pertanian dan perkebunan, perwujudan diversifikasi itu diantaranya berupa:

1. Pengolahan bahan dasar pisang dan singkong menjadi kripik pisang dan singkong. Hal ini bisa ditemukan di dusun Sucen desa Ngrandulor Kecamatan Peterongan. Survai yang dilakukan penulis menemukan, walaupun mayoritas penduduknya adalah petani kecil akan tetapi usaha pembuatan kripik singkong dan pisang dapat membantu menaikkan daya beli keluarga petani di kawasan tersebut menjadi lebih tinggi. Usaha yang dijalani di Sucen itu dikerjakan oleh ibu-ibu keluarga petani yang ada di dusun tersebut dan sekitarnya. Di Sucen ada 3 tempat pembuatan kripik pisang dan singkong. Perolehan mereka lebih tinggi dua kali lipat dibanding perolehan dari upah buruh tani, tanpa harus berpanas-panasan di bawah terik matahari. Karena setiap orang rata-rata mendapat Rp. 20.000, sampai dengan Rp. 25.000 perhari, sedangkan upah buruh tani hanya sebesar Rp. 7.000 sampai dengan Rp. 10.000.

2. Budidaya pohon jarak yang kemudian bisa diolah menjadi bahan bakar minyak, terkadang juga dimanfaatkan daun dan getahnya sebagai obat atau ramuan untuk pengobatan. Biji-biji jarak pagar mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, yaitu dapat dijadikan bahan bakar untuk kendaraan dan mesin-mesin otomotif lainnya. Ini akibat terjadinya krisis energi tak terbarukan semacam bahan bakar minyak (BBM) yang melanda bangsa kita. Jadi, tanaman jarak pagar mulai dilirik untuk dijadikan alternatif bahan bakar. Dan yang terpenting, jarak pagar dapat diperbaharui, sehingga relatif lebih ‘abadi’ dan lebih bersahabat dengan lingkungan. Memperhatikan potensi tanaman jarak yang mudah tumbuh, dapat dikembangkan sebagai sumber bahan penghasil minyak bakar alternatif dan pada lahan kritis dapat memberikan harapan baru pengembangan agribisnis. Tanaman jarak tergolong tanaman yang mudah tumbuh Keuntungan yang diperoleh pada budidaya tanaman jarak di lahan kritis antara lain menunjang usaha konservasi lahan-lahan kritis, memberikan kesempatan kerja sehingga berimplikasi meingkatkan penghasilan kepada petani dan memberikan solusi pengadaan minyak bakar (Radar Mojokerto, 20 Agustus 2006).

Oleh karena itu, pemerintah harus memberikan bantuan dan melakukan pemberdayaan keluarga petani yang ada di kabupaten Jombang. Misalkan dengan pelatihan ataupun pendampingan keluarga petani untuk membuka dan menjalankan usaha tambahan yang bisa mendongkrak perekonomian keluarga petani di Jombang agar daya beli keluarga petani kecil bisa lebih tinggi. Sebab masih banyak permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat karena belum adanya varietas unggul, jumlah ketersediaan benih terbatas, teknik budidaya yang belum memadai dan sistem pemasaran serta harga yang belum ada standar.

Jadi pemerintah harus melakukan penekanan untuk pemerataan pemberdayaan keluarga petani kecil di Jombang dengan kebijakan-kebijakan dan kegiatan-kegiatan agar dapat mengurangi ketimpangan sosial yang sangat banyak menyengsarakan masyarakat, khususnya petani kecil.

BAB V

PENUTUP

5.1. Simpulan

Kebanyakan petani di Jombang adalah petani kecil dan sebagian adalah buruh tani yang mempunyai pendapatan yang relatif kecil. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan keluarganya sekalipun mereka masih kekurangan. Oleh karena itu, keluarga petani perlu melakukan satu usaha yang dapat meningkatkan pendapatan keluarganya agar dapat meningkatkan daya beli keluarga petani kecil.

Salah satu alternatif yang dapat dilakukan oleh keluarga petani kecil di Jombang untuk meningkatkan daya beli adalah dengan diversifikasi (usaha pengembangan) pertanian dan perkebunan, diantaranya yaitu usaha pengolahan pisang dan singkong menjadi kripik pisang dan singkong, pendayagunan pohon jarak, dan sebagainya.

Usaha yang dilakukan keluarga petani itupun memerlukan skill dan pengetahuan agar usaha yang dilakukan tersebut dapat berjalan lancar serta dapat mengetahui bagaimana cara pemasaran dari hasil usahanya. Oleh karena itu, pemerintah juga harus ambil bagian untuk memberikan pelatihan, pendampingan dan pengetahuan kepada mayarakat. Jadi pemberdayaan kepada keluarga petani kecil di Jombang harus lebih diberdayakan oleh pemerintah. Selain itu, pemerintah juga harus mencarikan terobosan lain agar diverifikasi yang telah dilakukan petani di beberapa tempat di Jombang dapat semakin dirasakan dan dilakukan petani-petani kecil di tempat-tempat yang lain.

Pemberdayaan sangat penting karena akan berpengaruh pada perekonomian petani, khususnya petani kecil yang kondisinya cukup memprihatinkan karena pendapatan petani kecil relatif kecil. Hal tersebut juga akan berdampak pada pendidikan dan kesehatan yang dimiliki atau diperoleh oleh keluarga petani tersebut.

Di samping itu, Pemerintah diharapkan tidak memunculkan program-program pemberdayaan yang diwarnai oleh perspektif politik (kepentingan individu atau kelompok) dari pada perpektif sosial ekonomi, karena pada saat yang bersamaan akan kurang memberikan peluang bagi pertumbuhan dan perkembangan inisiatif masyarakat lokal yang sebenarnya akan lebih mendongkrak perekonomian pada jangka panjang.

5.2. Saran

1. Para keluaga petani hendaknya menyadari akan pentingnya peningkatan produksi usaha pertanian yang mereka lakukan, dengan menerapkan diverifikasi pertanian dan perkebunan, agar daya beli keluarga petani kecil bisa terangkat.

2. Pemerintah diharapkan lebih tanggap dalam pemberdayaan sumber daya manusia yang dimiliki masyarakat di daerahnya untuk menopang peningkatan perekonomian mikro (lokal).

3. Pertanian dan perkebunan di Jombang menyimpan potensi yang sangat besar untuk dikembangkan, oleh karenanya diverifikasi mutlak untuk dilakukan. Pemerintah dalam hal ini hendaknya aktif untuk mencari bentuk-bentuk terobosan baru.




*) Khotim Fadhli, Mahasiswa Prodi Ekonomi angkatan 2006 STKIP PGRI JOMBANG

1 komentar:

Anonim mengatakan...

makasih mas!